Jumat, 17 September 2010

Kumpulan Cerita-Cerita: 6. Pemburu Gracchus


Seri Surealis - 1

26. Pemburu Gracchus

Franz Kafka*

Dua anak laki-laki duduk di tembok dermaga dan bermain dadu. Seorang laki-laki membaca koran pada tangga monumen di bawah bayangan pahlawan yang sedang mengayunkan pedang. Seorang gadis di sumur mengisi air di tongnya. Seorang pedagang sayur laki-laki berebahan di samping dagangannya dan memandang ke arah danau. Dari dalam kafe, ada orang mengintip lewat pintu dan lubang jendela, di situ ada dua orang sedang minum anggur. Pemilik kafe itu duduk di depan pada sebuah meja dan tidur-tiduran. Sebuah tandu mengambang pelan, sepertinya sedang diangkut di atas air di sebuah pelabuhan kecil. Seorang lelaki mengenakan baju kerja warna biru turun dan menarik talinya lewat jeruji. Dua lelaki lain mengenakan mantel warna gelap yang berkancing perak memikul tandu di belakang pegawai perahu, di bawah sana tergeletak dengan jelas seorang yang mengenakan kain sutera berenda bunga besar.
Di dermaga itu tak ada orang yang mengurus pendatang baru, sendirian ketika mereka menurunkan tandunya, sambil menunggu pegawai perahu, tali-tali masih dikerjakan, tak ada orang yang masuk, tak ada orang yang mengajukan sebuah pertanyaan kepada mereka, tak seorang pun lebih memperhatikan mereka dengan saksama.
Pimpinan perahu sekarang menunjukkan dek perahu dengan leluasa melalui seorang perempuan, berambut terurai yang anaknya masih menindih dada. Kemudian datang lah dia dari sebuah rumah warna kuning tingkat dua, yang sedikit menanjak lurus dekat air, tukang pikul membawa beban dan mengangkatnya lewat tempat yang agak rendah, tapi lewat pintu bangunan pilar-pilar ramping. Seorang bocah kecil membuka jendela, langsung tahu, bagaimana rombongan itu menghilang di rumah, dan dengan cepat menutup lagi jendelanya. Pintunya sekarang juga tertutup, yang dibuat dari kayu eik hitam yang rapi. Sekelompok merpati telah terbang mengelilingi menara jam, sekarang hinggap di depan rumah. Ketika mereka akan mencari makanan, merpati-merpati itu berkumpul di depan pintu. Seekor terbang sampai ke lantai pertama dan mematuk kaca jendela. Itu merpati-merpati yang berwarna cerah, menarik, gesit. Dengan ayunan yang kuat, ibu itu melemparkan biji-bijian ke arah merpati-merpati, mereka berkerumun dan terbang melintasi ibu itu.
Seorang laki-laki mengenakan topi bundar dengan ikat simbol kesedihan menuruni lorong sempit yang penuh sampah menuju ke pelabuhan. Dia menoleh ke sana-kemari, semua dalam pantauannya, pandangannya tertuju pada sampah di pojok, wajahnya menjadi muram. Di tangga monumen tercecer kulit buah, sambil lewat dia menggaruk-garuk kulit buah itu ke bawah dengan tongkatnya. Di pintu ruang tamu, dia mengetuk sekaligus dia mengambil topi bundarnya dengan tangan kanan yang berkaus tangan hitam. Segera terbuka, lima puluh bocah laki-laki dengan riang berbaris dua-dua di gang dan membungkuk.
Pimpinan perahu menuruni tangga, menyalami orang laki-laki di situ, diajak naik ke lantai pertama , pimpinan perahu itu merasa ringan untuk bergaul dengan dia, pekarangan bangunan itu dikelilingi hiasan dan keduanya masuk, sementara bocah-bocah laki-laki dari kejauhan saling mendorong dengan penuh sopan, di sebuah kamar besar yang dingin di belakang samping rumah, tampak di seberangnya tak ada rumah lagi, melainkan hanya sebuah ladang tandus dengan tembok batu karang hitam ke abu-abuan. Tukang pikul supaya kelihatan sibuk, menindih tandunya dengan beberapa lilin panjang dan dinyalakan, tapi tidak ada api, sesungguhnya dulu hanya bayang-bayang sepi yang seram dan berkedip-kedip di atas dinding. Dari tandu itu hanya dililit selendang. Di tandu itu berbaring seorang laki-laki dengan rambut dan jenggot yang tumbuh liar tak beraturan, berkulit cokelat, seperti seorang pemburu. Dia tergeletak tak bergerak, sepertinya juga tak bernapas dan terpejam matanya, meski demikian hanya mengesankan di sekitarnya, bahwa itu mungkin sebuah mayat.
Orang laki-laki itu melangkah ke tandu, meletakkan tangannya ke dahi, kemudian berjongkok, dan berdoa. Pemimpin perahu memberi isyarat dengan tangan kepada tukang pikul, agar meninggalkan ruangan, mereka keluar menghalau bocah-bocah laki-laki, yang masih berkumpul di luar, dan menutup pintu. Orang laki-laki itu tampaknya juga tak diam sepenuhnya, dia memandang pemimpin perahu, menyadari dan pergi ke kamar sebelah lewat sebuah pintu samping. Orang yang tergeletak itu membentur tandu, matanya terbelalak, wajahnya berubah tertawa kecut kepada orang laki-laki di situ dan mengatakan: "Siapa kamu?" - Orang laki-laki yang sedang berlutut itu bangkit tanpa rasa heran dan menjawab: “Wali kota dari Riva."
Orang di tandu itu mengangguk, menampakkan kondisi lengannya yang lemah di kursi dan berkata, setelah memenuhi undangan wali kota: "Saya tahu, tuan wali kota, tapi awalnya sekejap saya selalu lupa semuanya, bagi saya semuanya terjadi sesuai urutan dan itu lebih baik, saya tanya, walau pun saya sudah tahu semuanya. Juga Anda mungkin sudah tahu, bahwa saya pemburu Gracchus."
"Tentu," kata wali kota. "Anda memberitahu saya malam hari ini. Kami tidur pulas. Di tengah malam istri saya memanggil: "Salvatore," -itu nama saya- "lihatlah merpati di jendela!" Itu benar-benar seekor merpati, tapi besar seperti seekor ayam. Merpati itu terbang ke telinga saya dan berbisik: "Besok datang seorang pemburu Gracchus yang sudah mati, sambutlah dia atas nama seluruh warga kota." Pemburu itu mengangguk dan menarik ujung lidahnya melalui di antara kedua bibirnya: "Ya, merpati-merpati itu sebelumnya terbang menghampiriku. Yakinkah Anda, tuan wali kota, bahwa saya harusnya tinggal di Riva?" "Saya belum bisa menjawabnya," jawab wali kota. "Anda sudah mati?" "Ya," kata pemburu, "seperti yang Anda lihat. Beberapa tahun lalu, tapi pastinya sudah bertahun-tahun, saya tergelincir dari sebuah batu wadas di Schwarzwald - itu di Jerman, ketika saya menguntit seekor kambing gunung. Sejak itu saya mati." "Tapi Anda masih hidup juga," kata wali kota.
"Boleh dikatakan begitu," kata pemburu, "agaknya saya juga hidup. Perahu yang mengantar kematian saya salah jalan, sebuah putaran yang salah pada setir navigasinya, sebuah ketidak hati-hatian dari pimpinan perahu, membelok ke arah alam kehidupan saya yang indah, saya tidak tahu, apa itu, yang saya ketahui, bahwa saya tinggal di bumi dan bahwa perahu saya sejak itu telah berlayar di perairan duniawi. Begitulah saya bepergian, yang hanya ingin hidup di pegunungan, setelah kematian saya melewati semua negara-negara di bumi." "Dan Anda tidak punya bagian di akhirat?" tanya wali kota dengan dahi mengkerut. “Saya,“ jawab pemburu, "selalu di tangga besar, menuju ke atas. Pada tangga yang luas tak terbatas itu saya berkeliling, kadang ke atas, kadang ke bawah, kadang ke kanan, kadang ke kiri, selalu saja bergerak. Dari seorang pemburu berubah menjadi seekor kupu-kupu. Anda jangan tertawa." "Saya tidak tertawa," wali kota itu membatinnya saja. "Sangat bisa dimengerti," kata pemburu. "Saya selalu bergerak. Tapi saya melompat jauh dan di atas pintu saya tersorot, saya bangkit dari usia saya, sudah di dalam perahu air yang sunyi di suatu daratan. Kesalahan fatal kematian saya yang sekali itu, saya meringis di bilik perahu. Julia, istri pimpinan perahu mengetuk pintu dan membawakan saya minuman pagi negeri itu ke tandu saya, kami segera melayari ke pesisir itu. Saya berbaring di sebuah balai-balai kayu, tapi saya tak merasa nyaman, memandang berlama-lama - sebuah pakaian mayat yang kotor, rambut, jenggot, abu-abu dan hitam, tak bisa dibereskan berantakan, paha-paha saya ditutupi dengan selendang perempuan panjang berhiaskan bunga sutera besar. Di depan kepala saya terletak sebuah lilin gereja dan menyala ke arah saya. Di dinding seberang saya terdapat sebuah foto kecil, jelas seorang dari semak belukar, yang memegang tombak mengarah ke saya dan kemungkinan di belakang ditutup dengan plang bergambar menakjubkan. Orang yang bertemu di perahu kadang menggambarkan hal yang tolol, tapi ini adalah yang paling tolol. Kalau tidak, keranjang kayu saya ini akan sama sekali kosong. Lewat sebuah lubang di sisi dinding mengalir udara malam yang panas dari arah selatan, dan saya dengar air mengombang-ambingkan tandu tua. Di sinilah saya tinggal sejak dulu, ketika saya masih hidup menjadi pemburu Gracchus, di rumah di Schwarzwald saya menguntit kambing gunung dan terperosok. Semuanya kembali normal lagi. Saya membuntuti, saya jatuh, mati kehabisan darah di jurang dan tandu ini seharusnya membawa saya ke akhirat. Saya masih ingat, betapa senangnya saya di sini pertama kalinya terlentang di balai-balai. Tak pernah pegunungan ini mendengar nyanyian saya, seperti dulu empat dinding-dinding yang masih remang-remang.
Saya dulu senang hidup dan senang mati, saya terlempar bahagia, sebelum saya masuk di pinggir perahu, mengumpulkan kaleng-kaleng bekas, tas-tas, senjata pemburu di depan bawah saya, saya selalu bangga memakainya, dan menyelinap di pakaian mayat, bagaikan seorang gadis yang mengenakan pakaian perkawinan. Di sini saya berbaring dan menunggu. Dan terjadi musibah." "Sebuah nasib yang malang," kata wali kota menampik dengan mengangkat tangan. "Dan Anda tak merasa bersalah?" "Tidak," kata pemburu itu, "saya pemburu, apakah itu sebuah kesalahan? Sudah ditakdirkan saya sebagai pemburu di Schwarzwald, dimana dulu masih terdapat serigala. Saya bersembunyi untuk mengintai, menembak, bertatapan, diambil kulitnya, apakah itu salah? Pekerjaan saya telah direstui. `Pemburu terbesar di Schwarzwald adalah saya.` Apakah itu sebuah kesalahan?"
"Saya tak punya tugas untuk memutuskan hal itu," kata wali kota, "toh juga tak terdapat kesalahan pada saya. Tapi siapa yang bersalah?"
"Orang di perahu," kata pemburu. "Tak pernah dibaca orang, apa yang saya tulis, tak pernah ada orang datang, membantu saya; sebenarnya menurut hukum ada orang yang membantu saya, semua pintu rumah terkunci, semua jendela tertutup, semua tertidur, selimutnya menutup kepala, sebuah pondokan malam di seluruh bumi. Itu hal yang baik, sehingga tak seorang pun tahu tentang saya, mengertikah dia dari saya, sehingga dia tak mengerti dimana persinggahan saya, dan tahukah dia persinggahan saya, tahukan dia, bila saya tak menetap lama di sana, tidak tahukah dia, bagaimana membantu saya. Pemikiran untuk membantu saya, adalah sebuah penyakit dan harus berbaring di tempat tidur untuk disembuhkan. Itu saya tahu dan juga tak perlu berteriak, meminta bantuan, bila saya sendiri sementara ini - tak berkuasa seperti saya, contoh langsung sekarang - sangat prihatin. Tapi cukup senang untuk mengusir pemikiran seperti itu, bila saya melihat sekeliling dan membayangkan saya, dimana saya berada - saya bisa menganggap gembira - sejak berabad-abad saya tinggal."
Luar biasa," kata wali kota, "luar biasa." "Dan sekarang Anda memperingatkan pada kita untuk tinggal di Riva?"
"Saya tak memperingatkan," kata pemburu tertawa dan sambil membenarkan ejekannya, tangannya ditaruh di lutut wali kota. "Saya di sini, saya tidak tahu lebih banyak, lebih dari itu saya tidak bisa lakukan. Perahu saya tanpa setir, perahu itu berjalan dengan kekuatan angin, yang bertiup pada bagian daerah terbawah kematian."


^0O0^

Judul asli: Der Jäger Gracchus
III. Cerita-Cerita dari karya warisan.
Diterjemahkan: Sigit Susanto
Ilustrasi: Thomas Titus