Jumat, 16 November 2007

Komentar dan Teks Terjemahan: Di Depan Hukum (Vor Dem Gesetz)


Komentar:

Di antara banyak cerpen Kafka, cerpen berjudul Di Depan Hukum (Vor Dem Gesetz) menurut saya yang paling membekas di ingatan. Lagi-lagi saya dibuat terkecoh dengan keberanian Kafka bermain dengan khayalannya. Pada cerpen ini Kafka menampilkan tokoh yang rapuh lagi. Hanya saja berbeda posisinya. Kalau pada Metamorfosis tokoh Samsa sebagai pelaku bisnis, pada cerpen ini tokohnya seorang yang lugu dari desa. Orang desa yang berciri sederhana dan patuh itu akan berurusan dengan hukum dan masuk gedung pengadilan. Di pintu masuk dihadang oleh seorang penjaga. Lalu ada sebuah dialog yang sangat brilian.
Penjaga tersebut bilang,
“Jika kamu akan mencobanya, mengapa tidak masuk saja, meskipun dilarang. Tapi ingat, saya berkuasa. Dan saya hanya penjaga pintu yang paling rendahan. Tapi dari ruang ke ruang lain telah dijaga oleh penjaga pintu, satu dengan yang lain makin tinggi kekuasaannya. Bahkan saya tidak bisa menanggung pada pintu ke tiga."
Orang desa itu akhirnya termangu ragu dan taat pada peraturan seperti yang diucapkan oleh penjaga pintu. Sekarang terjadi peristiwa yang luar biasa. Kafka nekat lagi membuat cerita bila orang desa itu patuh menunggu di depan pintu tak hanya dalam hitungan jam atau hari, tapi bertahun-tahun. Sampai di sini saya terpana.

Kafka mencoba melompat ke imajinasi surealis. Mungkinkah dalam realitas sehari-hari orang desa itu duduk di dingklik depan pintu pengadilan sampai bertahun-tahun? Jawabnya, ya dan tidak. Ya, bisa dibuktikan dari berbagai kasus pengadilan yang umumnya memakan waktu sampai bertahun-tahun. Tidak, bilamana orang desa itu terus menerus berdiri di depan pintu pengadilan sampai bertahun-tahun. Namun mengapresiasi karya sastra akan sia-sia kalau hanya berpedoman dengan logika riil. Lompatan ”menunggu bertahun-tahun” jelas Kafka menyodorkan sebuah arti simbolis. Pada sisi lain Kafka mungkin akan mengajak berpikir panjang. Bukankah orang yang bertipe sopan, baik, patuh, sederhana, dan lugu itu harus mendapat perlakuan yang setimpal? Dalam realitas keseharian, sering kali mendapat perlakuan yang sebaliknya. Atau justru dengan kepolosannya, ketaatannya, kesopanannya, sering menjadi korban peradaban dalam masyarakat. Kafka sesungguhnya sedang menyodorkan potret manusia lemah yang nasibnya tak kunjung berubah, manakala manusia itu tak berani membuat perubahan besar. Saya jadi ingat Max Weber yang pernah bilang; barangsiapa berpikiran, bila A akan selalu menjadi A, B akan menjadi B, maka pikiran seperti itu ibarat politik anak kecil. Kenyataannya apa yang dikatakan A bisa berubah menjadi B atau sebaliknya. Kafka di sini telah mencoba menjungkirbalikkan tatanan yang pada kultur timur dipercaya sebagai ”Karmapala.”
Terakhir ada kalimat yang filosofis diucapkan oleh penjaga pintu:
“Tak ada orang lain dapat izin masuk ke sini, karena pintu ini dimaksudkan hanya untuk kamu. Sekarang saya pergi dan tutup pintunya.”

Kalimat penutup di atas cukup kritis. Begitu penjaga melihat kondisi orang desa makin bungkuk dan pendengarannya sudah mulai menurun. Singkatnya ajal sudah menunggu, sementara warga lain sudah selesai dengan urusan pengadilan. Logisnya memang pintu harus ditutup, karena tinggal seorang saja, apalagi orang yang akan masuk itu sudah menjelang ajal.

*Agar komentar saya tidak menyaingi panjangnya cerpen, maka saya akhiri di sini.
(Sigit Susanto)


Di Depan Hukum (Vor dem Gesetz)

Di depan hukum berdiri seorang penjaga pintu. Seorang dari desa datang menemui penjaga pintu dan minta izin untuk menghadap hukum. Tapi penjaga pintu tersebut menolaknya untuk memberi izin masuk sekarang. Orang desa itu menanyakan, apakah dirinya nanti bisa masuk. "Itu mungkin, tapi tidak sekarang," jawab penjaga pintu. Ketika pintu pengadilan itu terbuka seperti biasanya dan penjaga pintu menepi, orang desa itu telah melihat ke ruang dalam pengadilan. Ketika penjaga pintu mengetahuinya, tersenyum dan berkata, "Jika kamu akan mencobanya, mengapa tidak masuk saja, meskipun dilarang. Tapi ingat, saya berkuasa. Dan saya hanya penjaga pintu yang paling rendahan. Tapi dari ruang ke ruang lain telah dijaga oleh penjaga pintu, satu dengan yang lain makin tinggi kekuasaannya. Bahkan saya tidak bisa menanggung pada pintu ke tiga." Orang desa itu tak mengharapkan kesulitan. Hukum harus berlaku adil kepada semua manusia, dia pikir. Tapi dia sekarang lebih memperhatikan penjaga pintu yang mengenakan jaket besar berbulu, berhidung mancung dan berjenggot panjang serta tipis. Dia masih optimis untuk dapat izin masuk. Penjaga pintu memberi bangku kecil sambil mempersilakan untuk duduk dekat pintu. Dia duduk berhari-hari bahkan bertahun-tahun. Dia mencoba minta izin masuk, namun ditolak oleh penjaga pintu. Bahkan penjaga pintu bertanya pada orang desa itu tentang keluarganya dan berbincang banyak hal, namun pertanyaannya membosankan. Penjaga pintu berlagak seperti tuan besar, akhirnya dia tetap berkata lagi, bahwa orang desa itu belum boleh masuk. Orang desa itu membawa banyak perbekalan berharga dalam perjalanannya, dengan mudah untuk menyuap penjaga pintu. Akan tetapi penjaga pintu berkata, "Saya hanya menerimanya, sehingga kamu jangan berpikir, kamu telah semena-mena pada semuanya." Setelah lewat bertahun-tahun, orang desa itu memperhatikan penjaga pintu terus menerus. Dia lupa pada penjaga pintu yang lain dan penjaga pintu pertama ini hanya merupakan halangan untuk menghadap hukum. Dia mengutuk nasib buruknya, pada tahun-tahun awal dan dengan penuh kehati-hatian, setelah dia makin tua, dia sering menggerutu pada dirinya sendiri. Dia menjadi kekanak-kanakan dan selama pengamatannya pada penjaga pintu, dia mulai tahu ada kutu pada jaket bulunya. Dia harapkan agar kutu itu membantunya untuk merubah sikap penjaga pintu. Akhirnya, pandangannya makin kabur, dan dia tidak tahu lagi, bila hari makin gelap atau bila matanya telah menipu dirinya. Tapi dia makin sadar, betapa sulitnya mengurus hukum. Dia tak bertahan hidup lebih lama lagi. Sebelum dia mati, seluruh pengalamannya dikumpulkan dalam benaknya untuk menemukan sebuah pertanyaan, yang dia sendiri belum tanyakan kepada penjaga pintu. Dia memanggil penjaga pintu, sementara dia sendiri tak bisa mengangkat tubuhnya yang kaku. Penjaga pintu harus membungkukkan begitu rendah, karena ketinggian antara keduanya telah berubah, banyak yang menyengsarakan orang desa itu. "Kamu masih ingin tanya apalagi?" tanya penjaga pintu. "Kamu rakus." "Semua orang berupaya berurusan dengan hukum," kata orang itu. "Bagaimana mungkin, bertahun-tahun lamanya, tak seorangpun kecuali saya telah minta izin menghadap hukum?" Penjaga pintu itu sadar, bahwa orang itu sudah mendekati kematian, di samping kedunguannya bertambah, dan untuk masuk, penjaga pintu berkata keras pada orang desa, "Tak ada orang lain dapat izin masuk ke sini, karena pintu ini dimaksudkan hanya untuk kamu. Sekarang saya pergi dan saya tutup pintunya.”

(Tamat)

*Diterjemahkan: Sigit Susanto

Tidak ada komentar: