Selasa, 16 Desember 2008

[Tengok Franz Kafka di Praha] Beberapa Karya Kafka

1. "Buku Harian Perjalanan" (Reisetagebücher)
Kafka sering melakukan perjalanan wisata bersama Brod yang dibagi dalam empat tahap:

a. Januari/Februari 1911 ke Friedland, Ceko.
Kafka mengunjungi Puri Friedland. Hotel di Friedland. Papannya besar. Mengingatkan saya pada Yesus yang disalip, yang mungkin tak sesungguhnya. Tak ada kertas toilet, badai salju menerjang masuk dari bawah. Saya termasuk tamu lama satu-satunya. Kebanyakan tamu-tamu itu merayakan perkawinannya di hotel. Dengan tak yakin, saya ingat kembali, suatu pagi di ruangan diadakan upacara perkawinan. Papan di ruang masuk itu amat dingin. Kamar saya tepat di pintu masuk; saya sama merasakan kedinginan...kembalinya dari Raspenau ke Friedland disamping saya ada seorang manusia yang mirip mati kaku,...yang terindah adalah panorama kaisar, saya tak merasakan kenyamanan, karena saya begitu masuk, tidak mengerti, masuk dengan sepatu tebal anti salju...Brescia, Kremona, Verona.

b. Agustus/September 1911 ke München dan Zürich.
Kemudian di lanjutkan ke beberapa kota di Itali, Switzerland, dan Perancis.

  1. Rimini-Ostende-Genua Nervi (Praha)

  2. Oberital.Seen, Milano (Praha)-Genua, (melewati Locarno dan Lugano)

  3. Meninggalkan Maggiore, Lugano-Milano, mengunjungi kota-kota kecil sampai di Bolognese.

  4. Lugano-Paris.

  5. Lugano-Milano (beberapa hari)-Maggiore.

  6. Milano: langsung ke Paris.

  7. Turun di Stresa.

c. Juni/Juli 1912 ke Weimar-Jungborn.
Pada 10 Juli Kafka bangun tengah malam dan bermimpi, bahwa dia seolah-olah mendengarkan suara deklamasi Goethe, tentang kebebasan dan kesewenang-wenangan yang tak putus-putusnya.

Pada 11 Juli Kafka berbicara dengan Dr.Friedrich Schiller, seorang pegawai di Breslau yang pernah belajar tata kota dan tinggal lama di Paris. Kafka tinggal di hotel dengan panorama kebun royal Palais...dua kawan saya mengganggu saya, mereka berjalan dan berdiri di pintu berbicara atau mengajak jalan-jalan. Tapi saya berterima kasih pada mereka, karena saya bisa membaca "Koran Misionaris Evangelis" edisi Juli 1912 tentang misionaris di Jawa; "Begitu banyak juga yang menentang terhadap misionaris yang bertugas sebagai dokter bukan ahlinya, berpraktek pada lingkungan yang luas, dengan haknya mengajukan keberatan, sehingga sekali lagi alat bantu utamanya tugas misionaris dan bukan justru menderitakan.

d. September 1913 ke Wina.
Pada 10 September Kafka pergi ke Wina bertemu dan ngobrol sekenanya tentang sastra dengan seorang bernama Pick. Obrolan itu agak membosankan, tapi tak bisa berhenti dari dunia sastra. Kafka menggambarkan, bahwa Pick kukunya telah mencengkeram. Suasana di stasiun kereta api Heiligenstadt itu lengang, kereta api juga kosong, ada pemerhati di pojok. Di kejauhan ada orang mencari jadwal perjalanan. Ketololan yang akhirnya saya hormati. Hotel Matschakerhof, dua kamar dengan satu pintu masuk. Kafka dengan P jalan menyusuri lorong, makin cepat. Angin kencang. Yang dikenal, semua terlupakan. Tidur tak nyaman perlu perhatian. Impian yang memuakkan. Pertanyaan pada buku harian, otomatis pertanyaan atas keseluruhan, mengandung ketidak mungkinan seluruhnya. Di Kereta Kafka mempertimbangkan kembali pembicaraannya dengan P. Itu tak mungkin, semuanya dikatakan dan itu tak mungkin, semuanya tidak dikatakan. Tak mungkin menjaga kebebasan, tak mungkin tak menjaganya. Tak mungkin dari kehidupan yang mungkin dilakukan, yaitu hidup bersama, setiap kebebasan, masing-masing untuk dirinya, bukan tak mungkin untuk kawin, hanya bersama-sama. P adalah orang yang pemberani, dengan sedikit celah yang tak mengenakkan. Terlalu pagi di parlemen pada kongres Zionis. Dengan Lisa.W. dengan perasaan saya pada gadis itu (bagaimanapun seperti jalan melingkar ke saya) mungkin perasaan sosial saya.

Kafka dalam menulis buku harian perjalanannya tidak ketat dengan jadwal waktu, namun terjadi loncatan peristiwa yang ditulis pendek bergaya puitis. Pembaca diajak untuk mengelabuhi dan memprediksikan luapan perasaan dalam perjalanannya.

2. "Metamorfosa" (Die Verwandlung)
Suatu pagi ketika Gregor Samsa akan bangun dari tempat tidur dan mendadak berubah menjadi seekor kumbang, padahal dirinya tidak mati, tidak melalui proses reinkarnasi, dia masih benar-benar hidup, juga bukan sebuah impian belaka, namun peristiwa nyata, jari-jarinya yang kecil dan lengket dan masih di tutup selimut. "Oh, Tuhan," pikir Gregor, pekerjaan sulit apa yang telah saya pilih. Ketika Ayah Gregor memanggil dari luar kamar, Gregor pun tak mau menjawab, namun ketika saudara perempuannya memanggilnya, Gregor menjawab; "Saya sudah siap". Suara itu pun mirip suara serangga. Pembaca dibuat tidak yakin, bahkan yang tak terbiasa dengan karya Kafka mungkin merasa aneh. Tapi itu memang model khas Kafka, yang tak jauh dari kehidupan pribadinya, bahwa Kafka yang diibaratkan Gregor Samsa merasa kecil dihadapan Ayahnya, oleh karena ketika di panggil Ayahnya keluar kamar Gregor tak menjawab. Milo Dor, seorang sastrawan emigran dari Yugoslavia di Jerman secara blak-blakan meniru model Kafka. Milo Dor menulis cerita berjudul "Kematian Lompatan" (Salto Mortale) berkisah; seorang redaktur koran yang bangun pada pagi hari, tiba-tiba tak dikenal lagi oleh sekitarnya, dia tidak mati, namun berbentuk mahkluk lain tak kelihatan, pacarnya juga tak mengenal dan melihat, kedudukannya sebagai redaktur koran telah diganti kawan lain, tapi dia ada disitu. Pembaca mendapat penjelasan yang rasional pada akhir cerita. Karya Milo Dor ini tahun 1959 telah dibacakan di depan forum kelompok 47 dan mendapat serangan kritik yang tajam.

3. "Seorang Dokter Daerah" (Ein Landarzt)
Saya dalam kebimbangan yang mendalam: sebuah tugas perjalanan mendesak; seorang yang sakit menunggu saya, yang jaraknya 10 mile di desa; hujan salju berangin kencang di sepanjang jarak antara saya dan dia; saya dulunya punya mobil, ringan, yg seperti orang di jalan pergunakan; pada kopor berbulu, peralatan tas sudah di tangan, saya sudah siap berangkat; tapi masih kurang kudanya, kuda. Kuda saya mati beberapa malam yang lalu, karena kerja keras pada musim dingin yang mencekam ini. Pembantu perempuan saya lari ke desa mencari pinjaman kuda; namun tak ada harapan, saya sadar karena makin banyak tertimbun salju, saya berdiri di sana tak bergerak dan tanpa tujuan. Di pintu seorang gadis berdiri sendirian menggerakkan lentera; tentu, siapa sekarang yang akan meminjamkan kuda untuk perjalanan semacam itu? Saya tengok ke halaman; tak ada kemungkinan lagi; terobek, tersiksa saya dorongkan kaki saya ke pintu darurat kandang babi yang sudah tahunan tak dipakai. Pintu itu terbuka. Terasa hangat dan berbau ada kuda yang datang. Sebuah lentera kusam di kandang itu bergoyang di dalam pada seutas tali. Seorang laki, berbaring di gubuk yang rendah itu, menunjukkan wajah mata kebiruan. "Haruskah saya memasangkan pakaian kuda ?" tanya dia, sambil merangkak ke depan. Saya tak tahu apa yang harus dikatakan dan saya hanya melihat kedalam apakah yang masih ada di dalam kandang itu. Pembantu rumah sudah berdiri di samping saya. "Orang tak tahu, barang apa saja yang dimiliki orang itu di rumahnya", katanya dan kami tertawa. "Halo, saudara laki-laki, halo saudara perempuan" kata buruh kuda dan dua kuda, binatang berkekuatan sepak itu jalan tunggang langgang, pahanya dekat tubuh, kepalanya merendah bak unta, hanya dengan kekuatannya menggerakkan tubuhnya dari lobang pintu, tubuhnya padat. Tapi berdiri sama tegak lurus berpaha tinggi, tubuhnya menguap. "Bantu dia", kata saya dan gadis itu cekatan membantu buruh memasang peralatan kuda ke keretanya. Jarang terjadi pada buruh seperti itu, dengan pegang erat dan mencambuk di wajahnya.

Melangkah dan pergi ke arah saya; ada bekas baris gigi warna merah di pipi gadis itu. "Kau Sapi", bentak saya marah, " Kamu akan cambuk?", pikir saya tapi dia orang asing; yang saya tak kenal, dari mana dia berasal dan dia sudah membantu dengan sukarela, dimana yang lainnya menolak. Ketika dia memahami pikiran saya, dia anggap ancaman saya tak jelek, melainkan dia nampak sangat sibuk dengan kudanya. "Naik", kata dia dan sebenarnya: semua siap. Dengan kereta sebagus itu, saya akui, saya belum pernah mencobanya dan saya naik dengan senang. "Tapi saya akan mengendalikan, kau belum tahu jalannya", kata saya. "Beres" kata dia. "Saya tak mau ikut, saya tinggal bersama Rosa". "Tidak" teriak Rosa dan melaju ke arah firasat yang tepat, nasib yang tak bisa dihindari tiba di rumah; saya mendengar sebuah rantai pintu bergerincing, di letakkan; saya dengar kuncinya diambil alih; saya lihat, sepertinya tak lain sebagai tanah garapan dan selanjutnya lewat kamar semua lampu padam, tak bisa ditemukan. "Kamu ikut pergi", kata saya pada buruh itu, " atau saya menyerah saja dari perjalanan ini, cepatlah. Ada yang tak cocok disini, kamu mengikutkan gadis yang sebagai pengorbanan diri". "Bangun!" kata dia; bertepuk tangan, keretanya terkoyak, bagaikan kayu di terpa topan; masih saya dengar, seperti pintu rumah saya di bawah serangan buruh. Mata dan telinga saya terpenuhi deru yang bertubi-tubi.

Tapi hanya sebentar saja, terbukalah pintu ladang dari ladang pasien saya, saya sudah berada disana; tenanglah kuda; hujan salju sudah berhenti; Bulan sudah mengitari; orang tua yang sakit itu tergopoh-gopoh keluar rumah; saudara perempuannya membuntuti; saya di papak keluar kereta, saya tak akan mengurus pembicaraan yang rumit; di kamar orang sakit udaranya pengap; asap tungku kompor terabaikan; saya akan buka jendela itu; tapi pertama kali saya akan melihat orang yang sakit. Kurus, tidak demam, tidak panas, tidak dingin, matanya kosong, tak berbaju anak muda itu hanya berselimut di gantungkan di leher saya, saya dibisiki di telinga: "Dokter, biarkanlah saya mati. "Saya melihat sekeliling; tak seorang pun yang dengar; orang tuanya membungkuk diam membisu dan menunggu keputusan saya; saudara perempuannya menaruh tas saya di kursi. Saya buka tas itu dan mencari peralatan saya; anak muda itu meraba-raba dari tempat tidur ke arah saya, minta agar saya mengingat permintaanya; saya pegang pinset, mengontrol dengan lampu lilin dan saya letakkan kembali. "Ya", pikir saya dalam umpatan, "dalam kondisi seperti itu, Tuhan membantu, kirimlah kuda yang hilang, tambahkan dengan segera untuk kedua kalinya, membantu kelalaian buruh kuda. "Sekarang saya kehilangan Rosa; apa yang saya lakukan, dimana saya harus menolongnya; bagaimana kalau kembali lagi seperti semula bertemu dengan buruh kuda, 10 mile dari sini, kuda yang tak jantan pada kereta saya? Kuda ini sekarang sabuknya kita longgarkan; jendelanya, bagaimana saya tak tahu, dorong dari luar; tiap orang melongok keluar lewat jendela, tak tergoyahkan dengan jeritan keluarga, orang yang sakit memandang lama. "Saya akan segera pulang", pikir saya, ketika saya dorong kuda itu untuk melanjutkan perjalanan, tapi saya tahan, bahwa saudara perempuannya yang telah membius saya dengan hawa panas menaruh koper bulu saya. Segelas rum disediakan untuk saya, orang yang tua menepuk bahu saya, nilai pengabdiannya yang meyakinkan sudah usai. Saya menggelengkan kepala, dalam lingkup pikiran orang tua itu, saya anggap buruk; atas dasar itu, saya tolak untuk meminumnya.

Ibu itu duduk di tempat tidur dan mengunci saya; saya ikuti dan rebahkan, sementara saya dengar seekor kuda meringkik keras lewat atap kamar, kepalanya di dada anak muda itu, di bawah jenggot saya yang basah. Yakin, apa yang saya ketahui: anak muda itu sehat, hanya sedikit pendarahan, dari rawatan ibunya yang diberi minum kopi, tapi sehat dan yang terbaik harus bergerak dari tempat tidur. Saya bukan orang reparasi dunia dan saya biarkan dia tergeletak. Saya ditugaskan dari daerah dan saya lakukan tugas saya hingga sampai di pinggiran. Sampai sejauh yang saya lakukan. Gajinya jelek, tapi saya murah hati dan siap bantu terhadap yang miskin. Juga pada Rosa, saya harus mengurusnya, kemudian anak muda itu berbinar-binar dan saya juga akan mati. Apa yang harus saya lakukan pada musim dingin yang tak henti-henti ini! Kuda saya telah mati dan tak ada lagi di desa itu, yang bisa meminjamkan kuda. Dari kandang babi saya harus tarik kereta saya, tak adakah kuda secara kebetulan, saya harus jalan dengan kereta. Begitulah. Saya mengangguk kepada keluarga itu. Mereka tak mengerti dan bila mereka tahu, mereka tentu akan tak percaya. Menulis resep adalah mudah, tapi memahami mereka adalah sulit. Disinilah kunjungan saya berakhir, orang kadang mengeluh yang tak perlu, tapi saya sudah terbiasa, dengan bantuan lonceng malam saya sebagai siksaan untuk seluruh daerah, tapi kali ini saya harus mengurus Rosa, gadis menarik yang bertahun-tahun tak pernah mendapat perhatian, tinggal di rumah saya-pengorbanan ini terlalu besar dan saya harus menaruh bantuannya pada benak saya, bukan membiarkan pada keluarga, dengan kemauannya yang terbaik tak dapat memberikan kembali pada saya. Ketika saya menutup tas gantungan, melambaikan tangan sambil bawa jaket bulu, keluarga itu berdiri bersama, ayahnya menarik nafas terhadap segelas rum di tangannya, ibunya saya kira kecewa-ya, apa yang di harapkan rakyat?-menghujani air mata di bibirnya yang hangat, dan saudara perempuannya melambaikan dengan handuk yang bergelepotan darah, bagaimanapun saya siap, menerima keadaan, bahwa anak muda itu mungkin sakit. Saya mendatanginya, dia menyambut dengan senyum, ketika saya membawakan sop kental- ah, sekarang kedua kuda meringkik; suaranya jadi merdu, pada tempat yang agak tinggi, memudahkan perawatan- dan sekarang saya menemukan: ya, anak muda itu sakit. Di sebelah kanannya, ke arah paha telah terluka selebar piring kecil. Rosa, dalam bayang-bayang gelap yang dalam, terang hingga sampai pinggiran, butir-butir kecil yang halus, dengan tak beraturan mengumpulkan darah, terbuka seperti pekerjaan gunung di hari-hari sibuk. Begitulah dari kejauhan, di kedekatan justru makin sulit. Siapa yang bisa memandangi tanpa bersiul lembut? Cacing-cacing, pada kekuatannya dan kepanjangannya sama dengan kecilnya jari saya, merah sendiri dan disamping itu disuntik berdarah, melilit, di bagian dalam lukanya berhenti, dengan kepala putih, dengan banyak paha-paha tersorot lampu. Anak muda yang malang, tak bisa menolong kamu. Saya menemukan luka kamu yang besar; pada bunga-bunga pada sisi kamu pergilah kamu ke dasar. Keluraganya bahagia, dia melihat saya sibuk; saudara perempuannya berkata pada ibunya, ibunya berkata pada ayahnya, ayahnya berkata pada tamu-tamunya, hingga paling ujung, selaras dengan kemiskinannya, lewat cahaya bulan yang masuk ke pintu terbuka. "Akankah kamu menyelamatkan saya?" bisik anak muda itu terisak-isak, benar-benar mengesankan kehidupan dalam lukanya. Itulah orang-orang di depan saya. Selalu mengharapkan ketidak mungkinan dari dokter. Kepercayaan kunonya telah sirna: pendeta duduk di rumah dan membongkar dinding misa, satu sama lainnya; tapi dokter harus mengurus dengan semua keterampilan kedokteran yang handal. Sekarang, mana yang menarik: saya tidak menawarkan; mereka pergunakan kah saya pada perlindungan suci, saya biarkan juga dengan yang terjadi pada saya, apa yang akan saya lakukan lebih baik, dokter daerah tua, sergah pembantu rumah saya! Dan kamu datang, keluarga dan orang-orang tua desa dan menelanjangi saya; sebuah kor sekolah dengan guru berdiri di ujung depan rumah dan bernyanyi sebuah melodi khusus yang sederhana dari teks:

"Telanjangi dia, dia nanti akan mengobati
Dan bila dia tak mengobati, bunuhlah dia!
Dia hanya seorang dokter, dia hanya seorang dokter."

Kemudian saya telanjang dan lihat, jari-jarinya di jenggot, dengan kepala miring, orang-orang diam. Saya sekujur di raba dan semuanya merenungkan dan tetap tinggal, meski tak membantu saya, sekarang mereka membawa saya di bagian kepala dan pada bagian kaki dan membawa saya ke tempat tidur. Ke pagar, pada bagian terluka mereka meletakkan saya. Kemudian semua pergi ke ruang tamu; pintunya tertutup; lagu-lagunya membisu; Awan memasuki di depan bulan; untuk saya, peralatan tempat tidur itu hangat, bayangan kepala kuda bergoyang di lobang-lobang jendela. "Tahukah kamu", saya dengar, dikatakan pada telinga saya, "kepercayaan saya pada kamu sangat tipis. Kamu dimanapun juga ya hanya terbebaskan, tidak berasal dari kakinya sendiri. Disamping membantu, kamu sempit di tempat tidur kematian saya. Yang paling baik, saya garuk kamu di bagian mata." "Benar", kata saya, "itu sebuah penghinaan. Tapi sekarang saya dokter. Apa yang harus saya lakukan? Percayalah pada saya, juga bagi saya bukan hal yang mudah." "Dengan permintaan maaf akankah saya puas? Dengan luka yang indah saya lahir di dunia; itu seluruh peralatan saya." "Anak muda", kata saya, "kesalahan kamu adalah: kamu tak punya wawasan. Saya yang sudah di semua rumah sakit, luas dan lebar, saya alami, saya katakan pada kamu: Luka kamu adalah tidak buruk. Di ujung siku terkena cangkul. Banyak yang menawarkan dan jarang yang mendengarkan cangkul di hutan itu, kemudian diam, bahwa dia makin mendekat." "Apakah benar-benar seperti itu atau kamu memperdaya saya tentang sakit demam itu?" "Memang benar demikian, ambillah sumpah jabatan dokter dengan merendah." Dan dia bersumpah dan diam. Tapi sekarang kesempatan saya untuk memikirkan pertolongan. Kuda masih berdiri setia di tempatnya, mengemasi pakaian, jaket bulu dan tas; dengan berpakaian saya tak ingin membiarkan terbuka; kuda tergesa-gesa seperti waktu perjalanan kemari, saya melompat ya agaknya dari tempat tidur ke tempat saya sendiri. Dengan patuh seekor kuda kembali manarik; saya lemparkan bola ke dalam kereta; jaket bulunya melayang agak jauh, dia menangkap lengan bajunya dan di gantungkan. Cukup bagus. Saya sudah biasa di atas kuda. Sabuknya tergesek kendor, seekor kuda jarang terikat dengan benda lain, keretanya berkelana di belakangnya, terakhir jaket bulunya jatuh di salju. "Beres", kata saya, tapi beres juga tidak; pelan-pelan seperti orang tua kami menarik diri lewat ladang tandus bersalju; di belakang kita ada yang aneh, suara panjang berbunyi, tapi lagu sepintas dari anak-anak:

"Berbahagialah kalian, pasien-pasien kamu,
Dokter kalian juga tergeletak di tempat tidur!"

Tak pernah saya sampai rumah; praktek saya yang membara telah hilang; seorang pengikut saya mencuri saya, tapi tanpa guna, tak mungkin dia bisa menggantikan saya; di rumah saya buruh kuda marah menjijikan; Rosa sebagai korbannya; saya tak habis pikir. Telanjang, pada suhu dingin yang mencekam itu, dengan kereta bumi, kuda-kuda yang tak alami, saya berlagak seperti orang tua kesana-kemari. Jaket bulu saya tergantung di kereta, saya tak bisa menjangkaunya dan tak ada kaum bajingan pasien bergerak menyentuh jari-jari. Kebohongan! Kebohongan! Sekali lagi lonceng jam malam berdetak aneh - tak pernah diperbaiki.(Tamat)

4."Di Depan Hukum" (Vor dem Gesetz)
Di depan hukum berdiri seorang penjaga pintu. Seorang dari desa datang menemui penjaga pintu dan minta izin untuk menghadap hukum. Tapi penjaga pintu tersebut menolaknya untuk memberi izin masuk sekarang. Orang desa itu menanyakan, apakah dirinya nanti bisa masuk. "Itu mungkin, tapi tidak sekarang," jawab penjaga pintu. Ketika pintu pengadilan itu terbuka seperti biasanya dan penjaga pintu menepi, orang desa itu telah melihat ke ruang dalam pengadilan. Ketika penjaga pintu mengetahuinya, tersenyum dan berkata; "Jika kamu akan mencobanya, mengapa tidak masuk saja, meskipun dilarang. Tapi ingat; Saya berkuasa. Dan saya hanya penjaga pintu yang paling rendahan. Tapi dari ruang ke ruang lain telah di jaga oleh penjaga pintu, satu dengan yang lain makin tinggi kekuasaanya. Bahkan saya tidak bisa menanggung pada pintu ke tiga". Orang desa itu tak mengharapkan kesulitan; hukum harus berlaku adil kepada semua manusia, dia pikir, tapi dia sekarang lebih memperhatikan penjaga pintu yang mengenakan jaket besar berbulu, berhidung mancung dan berjenggot panjang serta tipis, dia masih optimis untuk dapat izin masuk. Penjaga pintu memberi bangku kecil sambil mempersilakan untuk duduk dekat pintu. Dia duduk berhari-hari bahkan bertahun-tahun. Dia mencoba minta izin masuk, namun ditolak oleh penjaga pintu. Bahkan penjaga pintu bertanya pada orang desa itu tentang keluarganya dan berbincang banyak hal, namun pertanyaanya membosankan. Penjaga pintu berlagak seperti tuan besar, akhirnya dia tetap berkata lagi, bahwa orang desa itu belum boleh masuk. Orang yang membawa banyak barang berharga untuk perjalanannya, dengan mudah menyuap penjaga pintu. Akan tetapi penjaga pintu berkata; "Saya hanya menerimanya, sehingga kamu jangan berpikir, kamu telah sembrono pada semuanya". Setelah lewat bertahun-tahun, orang desa itu memperhatikan penjaga pintu terus menerus. Dia lupa pada penjaga pintu yang lain dan penjaga pintu pertama ini hanya merupakan halangan untuk masuk pengadilan. Dia mengutuk nasib buruknya, pada tahun-tahun awal dan dengan penuh kehati-hatian, setelah dia makin tua, dia sering menggerutu pada dirinya sendiri. Dia menjadi kekanak-kanakan dan selama pengamatannya pada penjaga pintu, dia mulai tahu ada kutu pada jaket bulunya dan ingin membantunya untuk merubah sikap penjaga pintu. Akhirnya, pandangannya makin kabur, dan dia tidak tahu lagi, bila hari makin gelap atau bila matanya telah menipu dirinya. Tapi makin sadar, betapa sulitnya menuju ke pengadilan. Dia tak bertahan hidup lebih lama lagi. Sebelum dia mati, seluruh pengalamannya di kumpulkan dalam benaknya untuk menemukan sebuah pertanyaan, yang dia sendiri belum tanyakan pada penjaga pintu. Dia memanggil penjaga pintu, sementara dia sendiri tak bisa mengangkat tubuhnya yang kaku. Penjaga pintu harus membungkukkan begitu rendah, karena ketinggian antara keduanya telah berubah, banyak yang menyengsarakan orang desa itu. "Kau masih ingin tanya apalagi?" tanya penjaga pintu. "Kamu rakus". "Semua orang berupaya menghadap pengadilan", kata orang itu. "Bagaimana mungkin, bertahun-tahun lamanya, tak seorang pun kecuali saya telah minta izin menghadap ke pengadilan?". Penjaga pintu itu sadar, bahwa orang itu sudah mendekati kematian, disamping kedunguannya bertambah, dan untuk masuk penjaga pintu berkata keras pada orang desa itu: "Tak ada orang lain dapat izin masuk kesini, karena pintu ini di maksudkan hanya untuk kamu. Sekarang saya pergi dan saya tutup pintunya.(Tamat)

5. "Pemburu Gracchus" (Der Jäger Gracchus)

Dua anak laki-laki duduk di tembok dermaga dan bermain dadu. Seorang laki-laki membaca koran pada tangga monumen di bawah bayangan pahlawan yang sedang mengayunkan pedang. Seorang gadis di sumur mengisi air di tongnya. Seorang pedagang sayur laki-laki berebahan di samping dagangannya dan memandang ke arah danau. Dari dalam warung kopi orang mengintip lewat pintu- dan lubang jendela ada dua orang sedang minum anggur. Pemilik warung kopi itu duduk di depan pada sebuah meja dan tidur-tiduran. Sebuah tandu mengambang pelan, sepertinya sedang diangkut di atas air di sebuah pelabuhan kecil. Seorang lelaki mengenakan baju kerja warna biru turun dan menarik talinya lewat ring-ring. Dua lelaki lain mengenakan mantel warna gelap yang berkancing perak memikul tandu di belakang pegawai perahu, di bawah sana tergeletak dengan jelas seorang yang mengenakan kain sutera berenda bunga besar.

Di dermaga itu tak ada orang yang mengurus pendatang baru, sendirian ketika mereka menurunkan tandunya, sambil menunggu pegawai perahu, tali-tali masih dikerjakan, tak ada orang yang masuk, tak ada orang yang mengajukan sebuah pertanyaan kepada mereka, tak seorang pun lebih memperhatikan mereka dengan saksama.

Pimpinan perahu sekarang menunjukkan dek perahu dengan leluasa melalui seorang perempuan, berambut terurai yang anaknya masih menindih dada. Kemudian datang lah dia dari sebuah rumah warna kuning tingkat dua, yang sedikit menanjak lurus dekat air, tukang pikul membawa beban dan mengangkatnya lewat tempat yang agak rendah, tapi lewat pintu bangunan pilar-pilar ramping. Seorang bocah kecil membuka jendela, langsung tahu, bagaimana rombongan itu menghilang di rumah, dan dengan cepat menutup lagi jendelanya. Pintunya sekarang juga tertutup, yang dibuat dari kayu eik hitam yang rapi. Sekelompok merpati telah terbang mengelilingi menara jam, sekarang hinggap di depan rumah. Ketika mereka akan mencari makanan, merpati-merpati itu berkumpul di depan pintu. Seekor terbang sampai ke lantai pertama dan mematuk kaca jendela. Itu merpati-merpati yang berwarna cerah, menarik, gesit. Dengan ayunan yang kuat, ibu itu melemparkan biji-bijian ke arah merpati-merpati, mereka berkerumun dan terbang melintasi ibu itu.

Seorang laki-laki mengenakan topi bundar dengan ikat simbol kesedihan menuruni lorong sempit yang penuh sampah menuju ke pelabuhan. Dia menoleh ke sana-kemari, semua dalam pantauannya, pandangannya tertuju pada sampah di pojok, wajahnya menjadi muram. Di tangga monumen tercecer kulit buah, sambil lewat dia menggaruk-garuk kulit buah itu ke bawah dengan tongkatnya. Di pintu ruang tamu, dia mengetuk sekaligus dia mengambil topi bundarnya dengan tangan kanan yang berkaus tangan hitam. Segera terbuka, lima puluh bocah laki-laki dengan riang berbaris dua-dua di gang dan membungkuk.

Pimpinan perahu menuruni tangga, menyalami orang laki-laki di situ, diajak naik ke lantai pertama, pimpinan perahu itu merasa ringan untuk bergaul dengan dia, pekarangan bangunan itu dikelilingi hiasan dan keduanya masuk, sementara bocah-bocah laki-laki dari kejauhan saling mendorong dengan penuh sopan, di sebuah kamar besar yang dingin di belakang samping rumah, tampak di seberangnya tak ada rumah lagi, melainkan hanya sebuah ladang tandus dengan tembok batu karang hitam ke abu-abuan. Tukang pikul supaya kelihatan sibuk, menindih tandunya dengan beberapa lilin panjang dan dinyalakan, tapi tidak ada api, sesungguhnya dulu hanya bayang-bayang sepi yang seram dan berkedip-kedip di atas dinding. Dari tandu itu hanya dililit selendang. Di tandu itu berbaring seorang laki-laki dengan rambut dan jenggot yang tumbuh liar tak beraturan, berkulit cokelat, seperti seorang pemburu. Dia tergeletak tak bergerak, sepertinya juga tak bernapas dan terpejam matanya, meski demikian hanya mengisyaratkan di sekitarnya, bahwa itu mungkin sebuah mayat.

Orang laki-laki itu melangkah ke tandu, meletakkan tangannya ke dahi, kemudian berjongkok, dan berdoa. Pemimpin perahu memberi isyarat dengan tangan kepada tukang pikul, agar meninggalkan ruangan, mereka keluar menghalau bocah-bocah laki-laki, yang masih berkumpul di luar, dan menutup pintu. Orang laki-laki itu tampaknya juga tak diam sepenuhnya, dia memandang pemimpin perahu, menyadari dan pergi ke kamar sebelah lewat sebuah pintu samping. Orang yang tergeletak itu membentur tandu, matanya terbelalak, wajahnya berubah tertawa kecut kepada orang laki-laki di situ dan mengatakan: "Siapa kamu?" - Orang laki-laki yang sedang berlutut itu bangkit tanpa rasa heran dan menjawab: “Wali kota dari Riva."

Orang di tandu itu mengangguk, menampakkan kondisi lengannya yang lemah di kursi dan berkata, setelah memenuhi undangan wali kota: "Saya tahu, tuan wali kota, tapi awalnya sekejap saya selalu lupa semuanya, bagi saya semuanya terjadi sesuai urutan dan itu lebih baik, saya tanya, walau pun saya sudah tahu semuanya. Juga Anda mungkin sudah tahu, bahwa saya pemburu Gracchus".

"Tentu," kata wali kota. "Anda memberitahu saya malam hari ini. Kami tidur pulas. Di tengah malam istri saya memanggil: "Salvatore", -itu nama saya- "lihatlah merpati di jendela!" Itu benar-benar seekor merpati, tapi besar seperti seekor ayam. Merpati itu terbang ke telinga saya dan berbisik: "Besok datang seorang pemburu Gracchus yang sudah mati, sambutlah dia atas nama seluruh warga kota." Pemburu itu mengangguk dan menarik ujung lidahnya melalui di antara kedua bibirnya: "Ya, merpati-merpati itu sebelumnya terbang menghampiriku. Yakinkah Anda, tuan wali kota, bahwa saya harusnya tinggal di Riva?" "Saya belum bisa menjawabnya," jawab wali kota. "Anda sudah mati?" "Ya," kata pemburu, "seperti yang Anda lihat. Beberapa tahun lalu, tapi pastinya sudah bertahun-tahun, saya tergelincir dari sebuah batu wadas di Schwarzwald - itu di Jerman, ketika saya menguntit seekor kambing gunung. Sejak itu saya mati." "Tapi Anda masih hidup juga," kata wali kota.

"Boleh dikatakan begitu," kata pemburu, "agaknya saya juga hidup. Perahu yang mengantar kematian saya salah jalan, sebuah putaran yang salah pada setir navigasinya, sebuah ketidak hati-hatian dari pimpinan perahu, membelok ke arah alam kehidupan saya yang indah, saya tidak tahu, apa itu, yang saya ketahui, bahwa saya tinggal di bumi dan bahwa perahu saya sejak itu telah berlayar di perairan duniawi. Begitulah saya bepergian, yang hanya ingin hidup di pegunungan, setelah kematian saya melewati semua negara-negara di bumi. "Dan Anda tidak punya bagian di akhirat?" tanya wali kota dengan dahi mengkerut. “Saya,“ jawab pemburu, "selalu di tangga besar, menuju ke atas. Pada tangga yang luas tak terbatas itu saya berkeliling, kadang ke atas, kadang ke bawah, kadang ke kanan, kadang ke kiri, selalu saja bergerak. Dari seorang pemburu berubah menjadi seekor kupu-kupu. Anda jangan tertawa." "Saya tidak tertawa," wali kota itu membatinnya saja. "Sangat bisa dimengerti," kata pemburu. "Saya selalu bergerak. Tapi saya melompat jauh dan di atas pintu saya tersorot, saya bangkit dari usia saya, sudah di dalam perahu air yang sunyi di suatu daratan. Kesalahan fatal kematian saya yang sekali itu, saya meringis di bilik perahu. Julia, istri pimpinan perahu mengetuk pintu dan membawakan saya minuman pagi negeri itu ke tandu saya, kami segera melayari ke pesisir itu. Saya berbaring di sebuah balai-balai kayu, tapi saya tak merasa nyaman, memandang berlama-lama - sebuah pakaian mayat yang kotor, rambut, jenggot, abu-abu dan hitam, tak bisa dibereskan berantakan, paha-paha saya ditutupi dengan selendang perempuan panjang berhiaskan bunga sutera besar. Di depan kepala saya terletak sebuah lilin gereja dan menyala ke arah saya. Di dinding seberang saya terdapat sebuah foto kecil, jelas seorang dari semak belukar, yang memegang tombak mengarah ke saya dan kemungkinan di belakang ditutup dengan plang bergambar menakjubkan. Orang yang bertemu di perahu kadang menggambarkan hal yang tolol, tapi ini adalah yang paling tolol. Kalau tidak, keranjang kayu saya ini akan sama sekali kosong. Lewat sebuah lubang di sisi dinding mengalir udara malam yang panas dari arah selatan, dan saya dengar air mengombang-ambingkan tandu tua. Di sinilah saya tinggal sejak dulu, ketika saya masih hidup menjadi pemburu Gracchus, di rumah di Schwarzwald saya menguntit kambing gunung dan terperosok. Semuanya kembali normal lagi. Saya membuntuti, saya jatuh, mati kehabisan darah di jurang dan tandu ini seharusnya membawa saya ke akhirat. Saya masih ingat, betapa senangnya saya di sini pertama kalinya terlentang di balai-balai. Tak pernah pegunungan ini mendengar nyanyian saya, seperti dulu empat dinding-dinding yang masih remang-remang.

Saya dulu senang hidup dan senang mati, saya terlempar bahagia, sebelum saya masuk di pinggir perahu, mengumpulkan kaleng-kaleng bekas, tas-tas, senjata pemburu di depan bawah saya, saya selalu bangga memakainya, dan menyelinap di pakaian mayat, bagaikan seorang gadis yang mengenakan pakaian perkawinan. Di sini saya berbaring dan menunggu. Dan terjadi musibah". "Sebuah nasib yang malang," kata wali kota menampik dengan mengangkat tangan. "Dan Anda tak merasa bersalah?" "Tidak," kata pemburu itu, "saya pemburu, apakah itu sebuah kesalahan? Sudah ditakdirkan saya sebagai pemburu di Schwarzwald, dimana dulu masih terdapat serigala. Saya bersembunyi untuk mengintai, menembak, bertatapan, diambil kulitnya, apakah itu salah? Pekerjaan saya telah direstui. `Pemburu terbesar di Schwarzwald adalah saya.` Apakah itu sebuah kesalahan?"

"Saya tak punya tugas untuk memutuskan hal itu," kata wali kota, "toh juga tak terdapat kesalahan pada saya. Tapi siapa yang bersalah?"

"Orang di perahu," kata pemburu. "Tak pernah dibaca orang, apa yang saya tulis, tak pernah ada orang datang, membantu saya; sebenarnya menurut hukum ada orang yang membantu saya, semua pintu rumah terkunci, semua jendela tertutup, semua tertidur, selimutnya menutup kepala, sebuah pondokan malam di seluruh bumi. Itu hal yang baik, sehingga tak seorang pun tahu tentang saya, mengertikah dia dari saya, sehingga dia tak mengerti dimana persinggahan saya, dan tahukah dia persinggahan saya, tahukan dia, bila saya tak menetap lama di sana, tidak tahukah dia, bagaimana membantu saya. Pemikiran untuk membantu saya, adalah sebuah penyakit dan harus berbaring di tempat tidur untuk disembuhkan.

Itu saya tahu dan juga tak perlu berteriak, meminta bantuan, bila saya sendiri sementara ini - tak berkuasa seperti saya, contoh langsung sekarang - sangat prihatin. Tapi cukup senang untuk mengusir pemikiran seperti itu, bila saya melihat sekeliling dan membayangkan saya, dimana saya berada - saya bisa menganggap gembira - sejak berabad-abad saya tinggal."

Luar biasa," kata wali kota, "luar biasa." Dan sekarang Anda memperingatkan pada kita untuk tinggal di Riva?"

"Saya tak memperingatkan," kata pemburu tertawa dan sambil membenarkan ejekannya, tangannya ditaruh di lutut wali kota. "Saya di sini, saya tidak tahu lebih banyak, lebih dari itu saya tidak bisa lakukan. Perahu saya tanpa setir, perahu itu berjalan dengan kekuatan angin, yang bertiup pada bagian daerah terbawah kematian.



^0O0^



6. "Surat untuk Ayah" (Brief an den Vater)
Ayah yang terhormat,
Kau pernah tanya saya, mengapa saya merasa takut dengan kamu. Saya tidak tahu, seperti biasa, apa yang saya jawab, sebagian besar dari ketakutan kepada kamu dan sebagian karena akibat dari takut itu begitu banyak kerumitan saya sehingga menghalangi berkata...kau menginginkan saya menjadi anak yang kuat dan pemberani...saya ingat, misalnya; bagaimana ketika kita tidak saling berpakaian di kamar ganti. Saya kurus, lemah; kamu kuat, tinggi, besar...sekarang dibandingkan dengan saya, kau sungguh sering mengagumkan benar,...saya juga harus mengakui sering menyakiti kamu dengan ucapan, tapi kemudian saya tahu, saya tak bisa menarik kata-kata itu lagi...selamanya saya tak bergembira: antara pilihan saya mengikuti perintah kamu, yang sudah tak menggembirakan atau saya menerima tantangan, yang tak menyenangkan, bagaimana saya berani menolak kamu...selama masa kanak-kakak saya, hanya karena rasa salah yang mengitari telah mempengaruhi ketidak harapan kita, kamu dan saya...pembicaraan damai yang tak memungkinkan: saya kehilangan kemampuan bicara, saya tak bisa berpikir apalagi bicara di hadapan kamu. Dan karena kamu lah yang membesarkan saya, yang kemudian mempengaruhi kehidupan saya. Benar-benar sebuah kesalahan, bahwa kamu mengira saya tak pernah mematuhi kamu. "Selalu menentang segalanya", adalah benar-benar bukan prinsip kehidupan saya terhadap kamu. Kebiasaan komentar kamu kepada juru tulis kita yang menderita penyakit tebese; "Biarkan dia mengaok, anjing sakit itu". Kamu juga memanggil pegawai kamu "Musuh Bayaran", dan ini situasinya dulu, meskipun sebelumnya mereka sudah di perlakukan begitu, kamu di mata saya, justru sebagai "Musuh Bayaran" dari mereka. Begitulah, saya banyak belajar, bahwa kamu berlaku tak adil...kamu hanya menunjukan masa kanak-kakak saya, bahwa ajaran Yahudi lah yang paling benar, selain itu adalah tak berguna, (sebenarnya kamu tak memusuhi Yahudi, tapi memusuhi saya)...saya melihat sebuah ketidak mungkinan perkawinan saya, sejauh ini bagaikan sebuah teror kehidupan saya, bagi saya sebuah yang tak berpengharapan. Perkembangan anak begitu lamban...mengapa kemudian saya tidak kawin? Hambatan yang utama, bagaimanapun, karena tak beruntung merdeka dari masalah pribadi, saya benar-benar tak mampu kawin secara spiritual. Kesadaran ini kenyataanya sekarang, saya putuskan untuk kawin, saya tak dapat tidur nyenyak, kepala saya terbakar siang dan malam, kehidupan yang tak lama, saya membuat keputusasaan. Saya mengajak berperang satu sama lain, tapi ada dua jenis perang. Perang secara kesatria, permusuhan yang independen terhadap kekuatan kita, setiap orang untuk dirinya, kekalahan untuk dirinya, menang untuk dirinya.

Surat Kafka untuk Ayahnya Herman Kafka itu ditulis pada bulan November 1919 dan belum pernah diberikan Ayahnya. Baru pada tahun 1937 Surat itu diterbitkan secara lengkap. Surat tersebut di tulis lebih dari seratus halaman sebagai upaya pendobrakan terhadap kebesaran figur Ayah yang otoriter. Surat itu di tulis Kafka secara sistematis; tentang masa kanak-kakak yang lemah, pengaruh Yahudi, ketakutan dalam perkawinan, juga perlakuan tak adil Ayah Kafka dengan pegawainya. Inti surat itu berisi pergolakan kedua insan manusia antara yang kuat dan yang lemah. Surat untuk Ayah ini menjadi sangat penting, karena banyak peneliti karya Kafka sering mengkaitkan karya-karya Kafka dengan Surat untuk Ayahnya.

7."Surat untuk Milena" (Brief an Milena)
Yang tercinta Nyonya Milena,
Saya menulis untuk kamu dari Praha dan kemudian dari Meran. Saya tak mendapatkan jawaban. Sekarang secarik kertas ya tak membutuhkan jawaban segera, dan bila kamu diam tak lain adalah sebagai simbol keadaan yang baik, sering muncul keengganan dalam bersurat, sehingga saya benar-benar puas. Tapi itu juga mungkin- dan oleh karenanya saya menulis- bahwa surat saya kepada kamu sepertinya telah melukai (yang mana terhadap semua keinginan saya, secara kasar yang saya tulis, bila itu harus terjadi) atau kebebasan menjadi lebih buruk, bahwa bisa bernafas lega sebentar dari yang kamu tulis, mungkin sudah lewat dan mungkin waktu yang tidak tepat untuk kedatanganmu. Kemungkinan pertama, saya tidak tahu apa yang dikatakan, begitu jauh jaraknya dari saya dan semuanya yang lain begitu dekat, kedua kemungkinan itu saya tak bisa meramalkan-bagaimana saya bisa meramalkan?-melainkan hanya bertanya; Mengapa kamu tidak pergi lebih jauh keluar dari Wina? Kamu bukan tak memiliki kampung halaman seperti yang lainnya. Akankah kamu singgah di kekuatan baru Böhmen? Dan bila kamu punya alasan lain yang saya tidak tahu, mungkin tidak ingin ke Böhmen, kemudian kemana, mungkin ke Meran juga bagus. Tahukah kamu itu? Saya juga menunggu dua kemungkinan. Antara tetap diam, artinya: "Jangan khawatir, saya baik-baik saja". Atau menulis beberapa baris.
Salam Kafka

Ada yang kurang, bahwa saya sebenarnya tidak dapat mengingat lagi wajah kamu secara rinci. Hanya bagaimana kamu berada dan meninggalkan meja warung kopi, rupa kamu, pakaian kamu, itu yang masih saya ingat.(Tamat)

Surat lengkap pertama ini di tulis oleh Kafka untuk Milena di awal tahun 1920. Dan diteruskan dengan puluhan surat yang mencerminkan; gairah, ketakutan, dan kelemahan. Kafka menulis; "Kamu tahu, bagaimana saya membenci menulis surat". Semua ketidak bahagiaan Kafka berasal dari surat atau mungkin dari menulis surat. Berkali-kali Kafka mengeluh sendiri bagaikan; "Hidup yang tidak berkehidupan". Hidup tidak harus lebih dari dua jam, seperti menulis surat sebanyak dua halaman. Bila Kafka menulis surat untuk Milena, artinya Kafka sedang melepas hantu, dimana sedang di tunggu dengan cemas, ciuman tertulis itu tak menuju ke tempat Milena, melainkan di ambil oleh hantu di jalan. Kafka meminta Milena untuk tak sering menulis surat; "Surat yang datang tiap hari tidak memperkokoh, justru makin memperlemah". Kafka lebih lanjut mengatakan; "Bila tak ada surat datang, saya menunggu, bila ada surat datang, saya mengeluh". Kafka juga memuji Milena lewat suratnya pada Brod; "Dia bagaikan api yang menyala, sepertinya saya tak pernah bertemu...disamping lembut, pemberani, pandai..."

Milena menulis surat pada Brod; "Kafka dapat tenang di samping saya, dia dalam beberapa hari ini sudah kehilangan rasa takutnya. Kita tahu bila Kafka tidak impoten, tapi ketakutan akan impoten selalu membayangi dan mempengaruhi".

Ranicki berpendapat; "Daya tarik Milena pada Kafka pertama kali hanyalah ingin mencari uang pada terjemahan prosa Kafka, kemudian tertarik secara pribadi, disamping Kafka sudah menjadi sastrawan yang dikenalnya. Kafka memerlukan Milena bukan hanya sebagai proyek datar untuk visinya, melainkan utamanya juga sebagai figur lawan-sebagai eksistensi tubuh yang menyejukkan dan membanggakan. Semua pacar Kafka adalah orang Yahudi (Felice Bauer, Grete Bloch, Julie Wohryzek, Dora Dymant), kecuali Milena non Yahudi. Juga suami Ottla yang bukan orang Yahudi, kesemuanya ini menambah takut Kafka, sehingga dilihatnya Milena seperti berada pada ujung dunia yang berbeda.


Tidak ada komentar: